Saya masih punya impian, tapi sudah lama.... lamaaaa sekali saya dan impian itu tidak saling menyapa. Hanya diam-diam, kadang saya merindukannya, ingin melakukan sesuatu untuk memperjuangkannya, dan tersenyum manis di klimaks manapun saya dan impian itu ditakdirkan.

Tapi sebulan ini, saya mulai menyapanya. Awalnya saya ragu, terlalu banyak alasan untuk saya tidak menyapanya. Rasanya, membiarkan impian itu di sudut sana sudah benar, toh hidup saya sekarang sangat baik. Tanpa impian itupun saya sudah sangat baik. Menjadi pembina di tahfidzul Quran putri sambil murajaah hafalan, membersamai 3 anak yang sedang lahapnya bertanya banyak hal, dan menikmati menjadi istri yang... ehm... sederhananya ; istri tersayang. :)

Semua pikiran itu tiba-tiba saja luruh oleh debaran tidak menentu tiap kali saya membuka homepage TURKIYE BURSLARI. Rasanya, seperti sesuatu menarik saya keluar dari diri saya. Ya, itu seperti diri saya yang lain ingin memisahkan diri dari saya yang merasa sudah sangat baik dan diri yang lain itu ingin berjuang. Sebulan kemarin, saya galau luar biasa. Bukan apa, saya benar-benar tengah menikmati hidup saya sekarang ketika diri saya yang lain berontak ingin memperjuangkan impiannya. Kadang-kadang, saya seperti orang linglung yang duduk di teras masjid putri sambil membicarai diri saya, membujuknya supaya menerima kenyataan saja, menikmati yang sudah dimiliki sekarang ini, dan usahlah mengejar ketidakpastian.

Iya, saya berulang kali membujuk diri saya seperti itu,kadang saya mengatainya naif. Tapi dia, "diri saya yang lain" tidak juga redam. Ia memaksa saya menelfon dosen pembimbing dan pak dekan untuk meminta surat rekomendasi. Dan ketika kedua dosen itu mengiyakan dengan senang hati, dia girang. Dia kemudian kembali memaksa saya untuk meminta surat rekomendasi dari Direktur pendidikan SPIDI sebagai tempat saya mengabdikan diri saat ini. Sang Direktur sama saja, baginya sebuah kehormatan membantu niat baik seseorang,tentunya dia setuju. "Diri saya yang lain" tak henti mengucap syukur. Ia kemudian menuntun saya mengumpulkn informasi tentang Turkiye Burslari, dan saya melakukannya dengan patuh.

Saya mendownload form aplikasinya, dan mempelajarinya dengan tekun. Saya menemukan banyak kekurangan pada diri saya, tidak ada kejuaraan nasional dan internasional, sertifikat terbatas, dan bahkan TOEFL pun tak ada, meskipun sebenarnya TOEFL hanya opsional, tapi saya tahu itu menjadi pertimbangan mutlak. Saya kembali menasehati diri saya untuk berhenti saja, kukatakan padanya : "sudahlah, jangan terlalu tinggi menggantung mimpi, jalani saja apa adanya hidup ini. Sudah kubilang, hidupmu sudah cukup baik tanpa impian macam-macam seperti itu". Tapi Diri saya itu, membalas menasehati,katanya : " tenanglah ophy. Kau punya Allah, biar Allah yang menggenapkan kekurangannya, kau hanya harus berusaha".

Hari ini, setelah semua perdebatan dengan diri saya tentang impian itu,di sinilah saya. Di kantor imigrasi kelas 1 Makassar, mengantri, menunggu nama saya di panggil untuk foto Paspor.

Saya tidak tahu, apakah Diri saya mengalahkan saya, Ataukah Saya yang telah mengalahkan diri saya. Ketika banyak orang lain mengubur impiannya, "diri saya yang lain"  mengajak saya merangkul impian-impian itu, mengajari saya tentang Azzam dan Tawakkal, Menghidupkan keyakinan saya pada kuasa Allah atas apapun, dan tentu saja, mengembalikan saya pada doa-doa yang dipenuhi khauf dan raja',

Meskipun, mungkin,  saya tidak menjumpai impian itu tahun ini, saya bersyukur, saya telah menemukan Allah, berada dalam impian itu. Dan saya selalu percaya pada takdir terbaikNya.

_______________
Rabu, di simpang jalan impian.