Bismillahirrahmanirraahim...

Bila tiba dirimu pada tulisan ini, bacalah dengan baik. Carilah bahasa yang lebih indah dari yang bisa kutuliskan, sebab sungguh, ini adalah tentang seseorang yang keindahannya tidak lagi dapat kukata dengan bahasa-bahasa...

***
Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, manakah yang lebih utama, wanita dunia ataukah bidadari yang bermata jeli?”

Beliau shallallahu’‘alaihi wa sallam menjawab, “Wanita-wanita dunia lebih utama daripada bidadari-bidadari yang bermata jeli, seperti kelebihan apa yang tampak daripada apa yang tidak tampak.”

Saya bertanya, “Karena apa wanita dunia lebih utama daripada mereka?”

Beliau menjawab, 
“Karena shalat mereka, puasa dan ibadah mereka kepada Allah. Allah meletakkan cahaya di wajah mereka, tubuh mereka adalah kain sutra, kulitnya putih bersih, pakaiannya berwarna hijau, perhiasannya kekuning-kuningan, sanggulnya mutiara dan sisirnya terbuat dari emas. Mereka berkata, ‘Kami hidup abadi dan tidak mati, kami lemah lembut dan tidak jahat sama sekali, kami selalu mendampingi dan tidak beranjak sama sekali, kami ridha dan tidak pernah bersungut-sungut sama sekali. Berbahagialah orang yang memiliki kami dan kami memilikinya.’.” (HR. Ath Thabrani)


***

Namanya Sabariyah.

Ia gadis manis dengan alis mata hitam yang bersembunyi malu di balik kaca-matanya. Senyumnya menawan, tidak ada yang akan meragukan itu. Tiap kali melewati kebun satu- tempat ia setiap harinya menghasbiskan paruh waktu dengan sapu lidi dan tong sampah yang hampir seukuran dirinya- aku selalu memilih jalan yang bisa melewatinya dalam jarak dekat, sekedar untuk memberi salam.

Kurang lebih Enam bulan aku menghabiskan pagi di kampus, menerima lembar-lembar hafalan Qur’an santri, kecuali Najwah- yang Alhamdulillah dapat menghafal 7 lembar al-Quran dalam sehari dan Nadwah yang telah khatam menghafal dan sedang muraja’ah 5 juz- aku menemukan kekaguman yang lain, pada seorang gadis cleaning service berusia 16 tahun.
Namanya Sabariyah. Kukatakan sekali lagi, semoga kalian mengingatnya dengan baik.

2  hari lalu, usai menyapu dedaun kering di sekitar Gazebo –rumah-rumahan tempat aku menerima hafalan santri- ia duduk istirahat di dekatku. Ia melempar senyum, dan memperhatikan bagaimana adik-adik santri menghafal ayat-ayat al-Quran. Kami berbicara sebentar sampai ia mengutarakan niatnya untuk ikut menghafal, dan ya, siapa aku sehingga layak menolaknya? Kujawab iya, dan dia tersenyum manis. Sangat manis...

Pagi ini, belum selesai ia dengan sampah daunnya saat ia melihatku datang dan langsung beranjak menghampiriku. Kupikir ia ingin aku men-tahsin bacaannya dahulu sebelum ia menghafal sebagaimana  adik santri lain, kupikir bacaan al-Qurannya masih perlu perbaikan, tapi seketika ia mulai menghafal, aku takjub. Saat kukira ia hanya akan menghafal beberapa ayat saja, aku tertegun ia menghadapkan 2 halaman utuh dengan bacaan yang fasih. Lalu aku menatap sapu yang ia simpan di dekatnya, tiba-tiba saja aku malu pada diriku.

Hingga aku menulis ini, tak henti senyumku. Aku memikirkan bagaimana aku menghafal dulu, sambil mengurus Fathi yang masih berusia 3 bulan, tiap tiga kali sepekan, pada pagi atau sore hari, aku menggendong fathi kecil berjalan menuju kampus, demi menghadapkan beberapa lembar hafalanku. Saat melihat gadis ini menyapu sampah-sampah sambil mengulangi ayat yang akan ia hafal yang telah ditulisnya pada selembar kertas, aku dibakar cemburu. Bagaimana Allah tidak mencintainya?

Namanya Sabariyah. 
Gadis yang mengingatkanku tentang bidadari syurga dari kehidupan bumi.







  Malam, Melepas Mei dengan senyum, 31 Mei 2014.
Rafiah. H